Mediabojonegoro.com - Catatan Redaksi: Sebelum membaca keseluruhan artikel Peluang Bisnis Tahu di Desa, perlu kami sampaikan bahwa isi yang terkandung dalam artikel berikut memuat tentang cerita, yang tentunya berbasis nyata. Bukan bermaksud mengelabuhi pembaca dan pihak manapun lainnya, dengan membuat judul tanpa penyebutan lokal Bojonegoro secara eksplisit sebagaimana isinya, melainkan kami berniat untuk memadukan antara pembahasan umum dengan cerita nyata yang telah terangkum dalam meja editorial. Dengan tujuan, artikel berikut bukan hanya relevan bagi pembaca lokal (Bojonegoro) melainkan juga bermanfaat bagi pelaku UMKM lain di seluruh nusantara.
Kisah inspiratif kali ini datang dari Ibu Karti, seorang perempuan berusia 57 tahun asal Desa Sukorame, Kecamatan Sukosewu, Bojonegoro yang sukses menjalankan bisnis tahu dari rumahnya.
Peluang bisnis tahu di desa ternyata cukup menjanjikan. Selain bahan bakunya mudah didapat, permintaan pasar akan tahu tergolong masih cukup tinggi, terutama di wilayah pedesaan yang minim produsen lokal. Dengan modal yang relatif kecil dan proses produksi yang bisa dilakukan secara mandiri, usaha tahu seringkali menjadi pilihan UMKM yang ingin memulai bisnis rumahan. Hal inilah yang dialami langsung oleh Ibu Karti dalam kisah berikut ini.
Awal mula perjalanan bisnis Ibu Karti dimulai pada tahun 1990, ketika dirinya masih duduk di bangku perkuliahan di salah satu universitas di Bojonegoro. Dimana pada saat itu, ia yang tengah semester 7 hendak melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang di selenggarakan di sebuah desa di kecamatan Balongpanggang, Kabupaten Gresik, yang ditugaskan untuk meniliti kegiatan ekonomi warga yang ada di desa tersebut.
Kebetulan, Ibu Karti dan temannya menemukan salah satu usaha milik warga, yaitu usaha pembuatan tahu. Dari sanalah ketertarikannya terhadap dunia usaha tahu mulai tumbuh.
"Awal saya tertarik untuk mendalami bisnis tahu pas KKN tahun 1990, Nak (sapaan akrab di pedesaan Bojonegoro untuk usia yang jauh lebih muda) di Balongpanggang Gresik," uangkapnya kepada tim Mediabojonegoro.com saat ditemui di teras rumahnya.
Singkat cerita, sepulang dari KKN, ketertarikan Ibu Karti terhadap tahu ternyata tak luntur. Ia benar-benar mendalaminya, bahkan mulai melakukan riset kecil-kecilan serta mencoba membuat tahu sendiri di rumahnya. Berbekal modal Rp500.000 dari hasil tabungan kuliah, ia mulai membeli kedelai, peralatan sederhana, dan mencoba produksi dalam skala kecil. Kala itu, ia tak langsung menjual tahunya, melainkan terlebih dahulu dibagikan kepada tetangga dan sanak saudaranya.
"Awalnya ya cuma bikin 30 sampai 40 buah tahu, saya bagikan ke tetangga dan saudara. Eh taunya katanya enak," pungkasnya.
Tak disangka, tahu buatan Ibu Karti ternyata banyak yang suka, karena dirasa memiliki tekstur yang padat serta rasa gurih yang khas. Dari itu, permintaan pun mulai berdatangan, dan perlahan ia mulai menambah kapasitas produksi serta menjualnya ke pasar. Menurutnya, setelah hampir setahun berjalan, usaha tahunya kian lancar dan berkembang.
Tak hanya itu saja, bahkan Ibu Karti mampu mempekerjakan empat orang karyawan dari warga sekitar, yang membantu proses produksi, pengemasan, hingga distribusi. Bisa dikatakan, usahanya tak hanya menopang ekonomi keluarganya, tetapi juga membuka lapangan kerja kecil di desanya.
"Setiap pagi sehabis subuh sudah mulai produksi, jam delapan sudah ada yang antar ke pasar-pasar," jelas Ibu Karti.
Namun, perjalanan usahanya tak selalu mulus. Ia mengaku sempat mengalami kerugian besar saat pandemi melanda. Penurunan daya beli masyarakat serta adanya sistem lock down (pembatasan wilayah) yang berdampak pada penjualan menjadi anjlok hampir 80 persen selama beberapa bulan. Hal itu pun membuat usaha tahu Ibu Karti sempat mandek selama beberapa tahun.
"Waktu itu saat covid 2019, usaha sangat sepi, aktivitas di batasi, akhirnya omzet pun anjlok sampai 80 persen, tiap bulan merugi," ujarnya.
Selang beberapa tahun, setelah pandemi usai, tepatnya di tahun 2024, Ibu Karti pun lantas terpikir untuk membangun kembali usahanya. Sebab menurutnya, di angka usianya yang sudah kepala 5 tidak lah mungkin jikalau harus mencari pekerjaan, sehingga mau tidak mau dirinya harus membuka kembali usahanya tersebut.
"Saat covid sudah ndak ada, aktivitas warga mulai normal, saya mulai buka lagi. Ya, mau apa coba, kerja dimana juga gak mungkin kan sudah tua gini," tambahnya sembari sedih kala teringat hal itu.
Lanjut cerita, sebelum Ibu Karti memulai kembali usahanya, ia mengaku sempat kebingungan dikarenakan terkendala dengan modal. Sudah mencoba pinjam ke tetangga, saudara, ia tak kunjung mendapat solusi, karena dampak covid yang masih dini. Alhasil Ibu Karti pun memilih opsi terakhirnya, yaitu meminjam ke salah satu bank yang ada di kota Bojonegoro. Berbekal usaha tahu yang sebagai jaminan nyata, tak lama Ibu Karti pun mendapat pinjaman modal.
"Dulu sempet bingung Nak, modal buat produksi gak ada, pinjam sana sini gak dapat, akhirnya ya solusi akhir ke bank deh hahaha...," ujarnya sambil tertawa.
Setelah mendapat pinjaman, lalu Ibu Karti pun mulai belanja untuk kebutuhan dasar produksi tahunya. Menurutnya, kala itu ia mempekerjakan hanya 2 orang saja, yang mana diketahui sebelumnya berjumlah 4 orang karyawan. Hal itu tentu saja untuk tujuan efisiensi anggaran.
"Dulu awal mulai lagi, cuma ajak 2 orang saja, untuk penggorengan sama penjualan ke warung-warung serta keliling," imbuhnya.
Singkat cerita, setelah usahanya berjalan selama kurang lebih 3 bulan, Ibu Karti mengaku usahanya sepi. Lalu ia pun memikirkan cara supaya usaha tahunya berjalan lancar dan menguntungkan. Setelah melihat penjualan belum juga membaik, Ibu Karti pun mulai mencari alternatif strategi pemasaran.
Terinspirasi dari kondisi sekitar, dimana kala itu situasinya yang masih terdampak covid yang tentunya juga berdampak pada minimnya lapangan pekerjaan, Ibu Karti pun memanfaatkan hal tersebut dengan merekrut beberapa orang sebagai bagian dari penjualan tahunya dengan konsep keliling.
Menurutnya, strategi tersebut ternyata efektif membuahkan hasil. Terbukti menurutnya omzet harian Ibu Karti naik secara drastis. Tak hanya itu saja, selain pendapatan dari hasil setoran jualan keliling, Ibu Karti mengaku dirinya juga mulai mendapatkan pesanan dari acara rutinan jamaah tahlil yang di adakan setiap malam rabu dan malam sabtu, itu diperolehnya dari 2 aktivitas yang berbeda.
"Alhamdulillah Nak kalau sekarang usahanya lancar. Selain ada yang keliling, dapat juga dari acara tahlil, malam rabu sama malam sabtu di 2 tempat," ujarnya.
Mengetahui dari segala sisi pemasukan yang ada, Ibu Karti mengaku omzet hariannya kini mencapai sekitar Rp 600 hingga 700 per hari, bahkan bisa lebih ketika malam rabu dan malam sabtu tiba.
"Kalau omzet ya mungkin sekitaran 600 sampai 700an. Tapi kalau malam rabu sama malam sabtu alhamdulillah bisa lebih," tutupnya dengan sumringah.
Kisah Ibu Karti tidak hanya menyentuh, tetapi juga menjadi gambaran nyata bahwa semangat dalam wirausaha mampu mengubah keterbatasan menjadi peluang. Dari sebuah ketertarikan sederhana saat KKN, ia berhasil membangun bisnis tahu yang tak hanya menopang ekonomi keluarga, tapi juga memberdayakan warga sekitar.
Harapannya, kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi pelaku UMKM lain di berbagai penjuru nusantara, bahwa usaha kecil di desa pun bisa tumbuh dan memberi dampak besar, asalkan dijalani dengan niat, strategi, dan keberanian untuk terus bangkit.
![]() |
Ibu Karti (Kiri), sedang melayani seorang pembeli yang memesan tahu miliknya dalam skala besar untuk acara tahlil dan rutinan. Ketika ditemui Mediabojonegoro.com di rumahnya. |
Poin Penting yang Bisa Diambil dari Perjalanan Bisnis Ibu Karti
Perjalanan bisnis Ibu Karti menyimpan banyak pelajaran berharga, terutama bagi masyarakat desa yang ingin memulai usaha dari nol. Tidak hanya berbicara soal tahu sebagai produk, tapi juga bagaimana mentalitas, strategi, dan adaptasi bisa menjadi kunci sukses dalam membangun dan mempertahankan sebuah usaha kecil.
1. Niat dan Ketertarikan Adalah Modal Awal yang Tidak Ternilai
Bisnis Ibu Karti berawal dari ketertarikannya saat melihat langsung proses produksi tahu dalam kegiatan KKN. Hal ini menunjukkan bahwa ide bisnis bisa muncul dari pengalaman sederhana, asalkan diiringi dengan niat dan kemauan untuk belajar.
2. Mulai dari Skala Kecil dan Uji Reaksi Pasar Secara Alami
Ia tidak langsung menjual produknya, melainkan membagikannya lebih dulu kepada tetangga. Ini menjadi strategi alami untuk mendapatkan umpan balik awal sebelum produksi besar-besaran. Respons positif dari lingkungan menjadi motivasi awal yang memperkuat langkah usahanya.
3. Ketangguhan Menghadapi Masa Sulit Menentukan Nasib Usaha
Pandemi COVID-19 menjadi masa paling sulit dalam perjalanan bisnis Ibu Karti. Namun, ia tidak menyerah. Ia memilih berhenti sementara, menata ulang rencana, dan kembali bangkit setelah situasi membaik. Ini mengajarkan pentingnya fleksibilitas dan ketahanan mental dalam menghadapi badai ekonomi.
4. Keberanian Mencari Solusi Saat Terdesak Patut Diteladani
Ketika modal menjadi kendala utama, Ibu Karti tidak diam. Ia berani mengambil risiko dengan meminjam modal dari bank, sekaligus menjadikan reputasi usahanya sebagai jaminan kepercayaan. Keputusan ini menjadi titik balik kebangkitan bisnisnya pasca pandemi.
5. Kreativitas dalam Pemasaran Bisa Menjadi Jalan Keluar
Strategi penjualan keliling yang melibatkan warga sekitar bukan hanya memperluas distribusi, tapi juga menciptakan dampak sosial. Pendekatan ini membuat bisnisnya tak hanya tumbuh secara ekonomi, tapi juga ikut memberdayakan lingkungan.
6. Tidak Ada Kata Terlambat untuk Memulai Kembali
Di usia lebih dari 50 tahun, Ibu Karti tetap semangat memulai lagi dari bawah. Dengan tenaga terbatas dan skala produksi kecil, ia membuktikan bahwa usia bukan hambatan selama semangat tetap menyala.
Komentar0