Mediabojonegoro.com - Siapa sih yang nggak senang kalau belanja online terus dapat gratis ongkir? Fitur ini udah jadi semacam candu buat banyak orang, apalagi di tengah gempuran promo dan diskon yang datang hampir tiap minggu.
Tapi kabar terbaru dari pemerintah bikin banyak netizen kaget sekaligus bingung. Yap, mulai pertengahan tahun ini, pemerintah resmi membatasi layanan gratis ongkir di platform e-commerce, dan hanya boleh diberikan 3 hari dalam sebulan.
![]() |
Foto dok : Gratis Ongkir E-Commerce Kini Dibatasi 3 Hari Dalam Sebulan |
Kebijakan ini langsung mengundang beragam reaksi. Ada yang setuju, ada juga yang bilang ini malah bikin konsumen dan UMKM kecil rugi. Nah, di artikel ini kita bakal bahas lebih dalam soal kebijakan tersebut, kenapa dibuat, siapa yang diuntungkan atau dirugikan, dan gimana dampaknya ke ekosistem digital di Indonesia.
Asal Muasal Kebijakan Ini
Jadi ceritanya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan UKM melihat fenomena banjir promosi yang menurut mereka udah mulai nggak sehat. Banyak pelaku e-commerce besar (terutama yang punya modal kuat dan asing) yang terus-menerus kasih subsidi ongkir dan diskon gila-gilaan. Memang sih, dari sisi konsumen itu menguntungkan. Tapi dari sisi pelaku usaha lokal, terutama UMKM, ini dianggap bikin persaingan jadi nggak seimbang.
Menurut data dari beberapa asosiasi, banyak pelaku UMKM yang akhirnya kalah bersaing. Mereka nggak sanggup ikut-ikutan promo gratis ongkir karena margin mereka udah tipis banget. Sementara platform besar bisa terus bakar duit karena dapat sokongan modal besar dari investor luar negeri.
Nah, di sinilah pemerintah mulai merasa perlu turun tangan.
Tujuan Kebijakan
Inti dari kebijakan pembatasan gratis ongkir ini sebenernya sederhana yaitu membuat medan persaingan lebih adil. Pemerintah ingin memastikan bahwa pelaku usaha kecil nggak terus-terusan kalah saing cuma gara-gara nggak bisa bersaing di sisi ongkos kirim.
Dengan membatasi hari-hari di mana e-commerce boleh kasih gratis ongkir (misalnya cuma di tanggal-tanggal tertentu, kayak tanggal kembar 9.9, 10.10, 11.11, dan seterusnya), pemerintah berharap UMKM bisa nafas lebih panjang. Mereka nggak harus perang harga dan ongkir tiap hari, dan bisa fokus ke kualitas produk serta pelayanan.
Selain itu, langkah ini juga dianggap bisa mengurangi praktik predatory pricing, yaitu strategi menjual rugi secara terus-menerus demi menyingkirkan pesaing. Praktik ini udah jadi perhatian banyak negara, termasuk Indonesia, karena bisa merusak ekosistem bisnis dalam jangka panjang.
Tapi… Apa Nggak Malah Bikin Konsumen Rugi?
Nah, di sisi lain, banyak konsumen yang langsung merasa dirugikan. Gratis ongkir selama ini udah jadi "hak istimewa" tak tertulis bagi pengguna e-commerce. Dengan batasan ini, banyak yang takut belanja online bakal jadi lebih mahal, apalagi buat mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, di mana ongkir bisa bikin dompet jebol.
Belum lagi, ada kekhawatiran kalau nanti harga-harga barang di marketplace bakal naik karena seller bakal "lempar" biaya ongkir ke harga jual. Jadi, meskipun ongkirnya nggak kelihatan, sebenernya tetap dibayar juga lewat harga barang. Trik klasik sih.
Makanya, banyak yang bilang kebijakan ini perlu dikaji ulang dan jangan terlalu terburu-buru diberlakukan tanpa ada solusi pengganti yang konkret.
E-Commerce Harus Putar Otak Lagi
Bagi pelaku e-commerce besar, kebijakan ini juga jadi tantangan tersendiri. Selama ini mereka menjadikan subsidi ongkir sebagai salah satu senjata utama untuk menarik trafik dan meningkatkan transaksi. Sekarang, dengan aturan baru ini, mereka harus lebih kreatif. Mungkin bakal muncul bentuk promosi baru selain gratis ongkir, bisa jadi cashback, bundling produk, atau diskon langsung.
Tapi ada juga kemungkinan munculnya "jalan tikus". Misalnya, mereka tetap kasih gratis ongkir tapi lewat mekanisme poin atau voucher khusus, bukan sebagai promosi langsung. Ini bakal jadi PR juga buat regulator, gimana memastikan aturan ini ditegakkan tanpa membunuh kreativitas?
Jalan Tengah: Mungkin Bisa Lebih Fleksibel?
Beberapa pakar ekonomi digital dan pelaku usaha menyarankan agar kebijakan ini lebih fleksibel. Misalnya, bukan membatasi HARINYA, tapi membatasi NILAI atau VOLUME subsidi ongkir dalam sebulan. Jadi, pelaku e-commerce tetap bisa kasih gratis ongkir kapan saja, tapi dengan batasan nominal tertentu. Ini dianggap lebih adil karena nggak mengatur strategi pemasaran secara terlalu rigid.
Selain itu, penting juga ada edukasi ke konsumen dan pelaku usaha soal makna ekonomi digital yang berkelanjutan. Bahwa gratis ongkir itu sebenarnya ada harganya. Entah ditanggung oleh platform, penjual, atau pada akhirnya... pembeli juga.
Penutup: Bijak Menyikapi, Cerdas Berstrategi
Jadi, apakah kebijakan pembatasan gratis ongkir ini bakal jadi solusi jangka panjang? Atau cuma tambal sulam sesaat?
Jawabannya masih belum pasti. Tapi satu hal yang jelas ekosistem digital butuh keseimbangan. Antara konsumen yang ingin murah, pelaku usaha yang butuh untung, dan pemerintah yang wajib menjaga keberlangsungan industri.
Yang penting sekarang adalah bagaimana semua pihak bisa duduk bareng, saling dengar, dan cari solusi yang win-win. Karena kalau nggak, e-commerce yang tadinya jadi harapan buat pemerataan ekonomi, malah bisa jadi bumerang buat pelaku lokal. Toh, ujung-ujungnya, yang kita cari bukan cuma gratis ongkir kan? Tapi juga kualitas, kenyamanan, dan rasa aman dalam transaksi.
Kalau kamu sendiri, gimana tanggapannya soal aturan ini? Lebih mendukung pelaku UMKM atau tetap ingin promo jalan terus?
Komentar0