Rekomendasi Jualan Pinggir Jalan yang Tetap Laris di Tengah Perubahan Musim dan Pola Belanja Warga
Mediabojonegoro.com - Di tengah tekanan ekonomi dan naik-turunnya daya beli masyarakat, jualan pinggir jalan masih menjadi pilihan usaha yang bertahan di berbagai kondisi. Mulai dari bulan Ramadhan, musim hujan, hingga akhir tahun, aktivitas ekonomi skala kecil ini tetap hidup dan menjadi tumpuan banyak keluarga.
Pada momen Ramadhan, pola belanja masyarakat cenderung meningkat, terutama menjelang waktu berbuka dan sahur. Sementara saat musim hujan, selera konsumen bergeser ke makanan hangat dan praktis. Adapun menjelang akhir tahun, mobilitas warga meningkat seiring libur panjang, perjalanan keluarga, hingga aktivitas belanja. Perubahan-perubahan inilah yang memengaruhi jenis jualan pinggir jalan yang laku di pasaran.
Namun demikian, tidak semua usaha pinggir jalan otomatis ramai pembeli. Faktor cuaca, lokasi, jam jualan, serta kemampuan pedagang membaca kebutuhan pasar menjadi penentu utama bertahannya usaha.
Perubahan Pola Belanja Masyarakat di Musim Tertentu
Dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaan masyarakat mengalami pergeseran. Saat Ramadhan, konsumen lebih memilih makanan siap saji yang praktis dan tidak memakan waktu lama. Di musim hujan, mereka cenderung menghindari tempat terbuka terlalu lama dan memilih membeli makanan yang bisa langsung dibawa pulang. Sementara di akhir tahun, meningkatnya arus lalu lintas membuat usaha di jalur penghubung antarkecamatan memiliki peluang lebih besar.
Perubahan ini menuntut pedagang pinggir jalan untuk sigap menyesuaikan diri, baik dari sisi menu, jam operasional, hingga cara berjualan.
Rekomendasi Jualan Pinggir Jalan Paling Laris
Jualan pinggir jalan memang terkesan mudah dijalankan dan tidak selalu membutuhkan modal besar. Namun dalam praktiknya, tidak semua jenis dagangan mampu bertahan di tengah perubahan cuaca, kebiasaan belanja masyarakat, serta persaingan yang semakin ketat. Oleh karena itu, pemilihan jenis usaha menjadi faktor penting agar jualanmu tidak hanya ramai di awal, tetapi juga berkelanjutan.
Berikut beberapa rekomendasi jualan pinggir jalan yang memiliki peluang laris di berbagai kondisi.
1. Takjil dan Makanan Pembuka Puasa
Takjil tetap menjadi primadona saat Ramadhan. Es buah, kolak, gorengan, hingga jajanan pasar banyak diburu menjelang maghrib. Usaha ini memiliki perputaran uang cepat karena transaksi terjadi dalam waktu singkat dan volume pembeli tinggi.
Namun, pedagang perlu menyesuaikan jam jualan dan memastikan dagangan terlindungi dari hujan, terutama saat cuaca tak menentu.
2. Nasi Bungkus dan Menu Praktis
Kesibukan masyarakat membuat nasi bungkus dengan menu sederhana tetap dicari, baik untuk sahur, buka puasa, maupun makan malam. Menu berkuah seperti soto atau rawon justru semakin diminati saat musim hujan karena memberikan rasa hangat.
Lokasi dekat kos-kosan, jalan ramai, atau kawasan kerja menjadi titik strategis untuk jenis usaha ini.
3. Jajanan dan Minuman Hangat di Musim Hujan
Saat hujan turun, jajanan hangat seperti gorengan, bakwan, jagung rebus, hingga wedang jahe dan kopi panas memiliki daya tarik tersendiri. Selain mengenyangkan, makanan dan minuman hangat memberi kenyamanan bagi pembeli.
Usaha ini relatif fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi cuaca harian.
4. Minuman Tradisional
Minuman tradisional tetap memiliki pasar di berbagai musim. Saat Ramadhan, minuman segar diburu untuk berbuka. Sebaliknya, di malam hari atau saat hujan, minuman hangat lebih diminati. Fleksibilitas inilah yang membuat usaha minuman bertahan sepanjang tahun.
5. Jajanan Anak dan Camilan Murah
Sore hari menjelang berbuka dan masa libur akhir tahun menjadi waktu ramai bagi penjual jajanan anak. Harga terjangkau dan lokasi dekat permukiman menjadi kunci utama usaha ini.
6. Jasa Pinggir Jalan Berbasis Kebutuhan
Selain makanan, jasa pinggir jalan seperti tambal ban dan servis ringan tetap dibutuhkan, bahkan meningkat saat hujan karena risiko kendaraan bermasalah lebih tinggi. Usaha berbasis kebutuhan ini cenderung stabil meski kondisi ekonomi fluktuatif.
Tips Teknis dan Antisipasi Jualan Pinggir Jalan Saat Musim Hujan
Agar usaha tetap berjalan optimal di musim hujan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pedagang pinggir jalan. Penggunaan tenda atau terpal yang kokoh menjadi kebutuhan utama untuk melindungi dagangan. Kemasan makanan sebaiknya tahan air dan berlapis agar kualitas tetap terjaga.
Pemilihan lokasi juga penting, hindari area rawan genangan. Jam jualan bisa disesuaikan dengan intensitas hujan dan arus lalu lintas. Selain itu, keamanan kompor dan instalasi listrik perlu diperhatikan untuk menghindari risiko kecelakaan.
Studi Kasus Nyata: Sugeng, Penjual Soto Ayam Gerobak di Kecamatan Baureno, Bojonegoro
Sugeng (38) atau Pak Sugeng sapaan akrabnya, seorang warga Desa Karangdayu, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, menjadi contoh nyata bagaimana keterbatasan ekonomi tidak selalu menjadi penghalang untuk bangkit. Sejak awal 2023, Pak Sugeng memutuskan beralih profesi dari buruh bangunan ke pedagang soto ayam keliling setelah pendapatannya dinilai tak lagi mampu mencukupi kebutuhan keluarga yang terus meningkat.
Keputusan tersebut tidak diambil secara instan. Sebelum memulai usaha, Pak Sugeng terlebih dahulu menghitung kemampuan modal yang ia miliki. Dengan dana sekitar Rp3,5 juta, ia membeli gerobak bekas, kompor, panci besar, peralatan makan sederhana, serta bahan baku awal. Modal itu tergolong minim, namun Pak Sugeng memilih memaksimalkan fungsi dibanding tampilan.
“Yang penting bisa jualan dulu, Mas,” kata Pak Sugeng mengenang awal usahanya, ketika ditemui Mediabojonegoro.com, Sabtu, 13 Desember 2025, sekitar pukul 17.00 WIB.
Ia memilih lokasi berjualan di pinggir jalan penghubung Baureno–Bojonegoro, jalur yang cukup ramai dilalui warga pada sore hingga malam hari. Setiap hari, Pak Sugeng mulai menyiapkan kuah dan bumbu sejak siang, lalu berjualan mulai sore menjelang magrib hingga malam. Namun, perjalanan usahanya tidak langsung berjalan mulus.
Tantangan terbesar menurutnya datang dari faktor cuaca. Hujan yang kerap turun sejak sore sering membuat pembeli enggan untuk berhenti. Beberapa kali, Pak Sugeng harus pulang lebih awal dengan sisa dagangan yang belum habis. Kondisi tersebut sempat membuatnya ragu untuk melanjutkan usahanya, tetapi ia lebih memilih mencari solusi daripada menyerah.
Secara bertahap, Pak Sugeng mulai beradaptasi. Ia menambah tenda sederhana agar gerobak dan pembeli terlindung dari hujan, menggunakan alas kayu untuk mencegah becek, serta menyesuaikan jam buka dengan intensitas hujan. Ia juga menjaga kualitas kuah agar tetap panas dan higienis, karena menyadari bahwa faktor kenyamanan dan kehangatan menjadi alasan utama pembeli mampir saat hujan.
Upaya tersebut perlahan menunjukkan hasil. Ironisnya, justru pada musim hujan dan saat bulan Ramadhan, jumlah pembeli meningkat. Banyak warga yang mencari makanan hangat untuk berbuka puasa atau makan malam. Dari situ, omzet Pak Sugeng pun mulai stabil. Pada momen tertentu, terutama saat hujan deras atau akhir pekan, ia mampu meraih omzet antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per hari.
“Kalau hujan malah banyak yang mampir. Yang penting siap antisipasi, jangan sampai soto kena air hujan,” ujar Pak Sugeng.
Kini, usaha soto ayam gerobaknya tidak hanya menjadi sumber penghasilan utama keluarga, tetapi juga simbol ketekunan dan kemampuan membaca peluang. Kisah Pak Sugeng menunjukkan bahwa usaha kecil dengan modal terbatas tetap bisa berkembang jika dijalani dengan perhitungan, adaptasi, dan ketekunan menghadapi kondisi lapangan.
![]() |
| Tampak lapak soto ayam Pak Sugeng di pinggir jalan, dengan terpal biru sebagai atap untuk melindungi gerobak dan dagangannya. |
Penutup
Jualan pinggir jalan masih menjadi sektor ekonomi kerakyatan yang relevan di berbagai musim. Ramadhan, musim hujan, dan akhir tahun bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang jika dibaca dengan tepat.
Dengan memahami perubahan perilaku konsumen, menyiapkan antisipasi teknis, serta konsisten dalam berjualan, usaha pinggir jalan dapat menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan. Seperti yang dialami banyak pedagang di Bojonegoro, kunci utama bukan pada besar kecilnya modal, melainkan kemampuan beradaptasi dan ketekunan menghadapi kondisi lapangan.
